Kamis, 14 Juli 2011

The Kill(er) - Mr Amin

Jam pertama seharusnya olahraga, tapi gurunya absen. Biasanya, murid lelaki kelas 3E sudah berhamburan ke lapangan bola, sedangkan para cewek mengadakan studi banding ke kantin, membandingkan makanan rumah versus makanan kantin. Hari ini berbeda, mereka terlihat memanfaatkan jam kosong itu untuk bermusyawarah dalam sebuah rapat pleno ala murid SMP.

“Kita harus melakukan sesuatu nih, ngga mungkin dong batin dan raga kita harus tersiksa setiap pelajaran fisika.” kata Hendra bersemangat.


“Betul itu!!! Kita-kita nih, bisa terkena depresi dan phobia kalau yang beginian dibiarin. Harus ada tindakan! You guyz have to do something! Ini jelas-jelas penindasan terhadap kaum lelaki! Penindasan terhadap hak asasi manusia! Gimana kalo semua murid cowok kabur aja setiap pelajaran fisika.” Teteg tiba-tiba berdiri dan berteriak mengaplikasikan istilah-istilah yang baru didengarnya dari radio semalam, sambil nunjuk-nunjuk kearah teman-temannya, namun secepat kilat ngumpet lagi dibelakang badan suburnya si Fandy. Ide itu jelas untuk mendukung hobbi bolosnya pada jam pelajaran fisika. Alasan sepelenya: guru fisika yang killer bin nazong. Alasan seriusnya: kemampuan otaknya tidak cukup mampu menyerap hitung-hitungan tingkat lanjut, apalagi ditambah rumus-rumus. Entah setan apa yang menahan dia hari ini untuk tidak bolos.

“Iya nih, udah sebulan ini nafsu makan gua anjlok gara-gara kepikiran Pak Amin dan kezalimannya. Tolong, jangan kalian biarkan gua merana dan jatuh kurus!” Fandy memohon sambil tetap menjejalkan bakpao kedalam mulutnya.

Hairumannur, sang ketua kelas, memasang tampang serius sementara 34 pasang mata memandang fokus kepadanya, mendambakan ide cemerlangnya.

“Tunggu sebentar, gua butuh udara segar untuk bisa berpikir jernih.” kata Hairumannur sambil berjalan keluar kelas. Yang lain menunggu sambil berbisik-bisik. Dua puluh lima detik kemudian, semua penghuni kelas terperanjat karena Hairumannur tiba-tiba berlari masuk lagi ke kelas dengan wajah tegang.

“Semuanya diaaaam! Hairumannur mendapatkan ide!” Agus Marni tiba-tiba melolong dengan dahsyat, mencoba menarik perhatian Hairumannur. Kelas pun hening bagai kuburan dan semua mata kembali tertuju ke Hairumannur yang malah grogi menjadi objek perhatian.

”Pak Amin sedang menuju kesini!” teriaknya sambil berlari ke tempat duduknya.

Rupanya, jam pelajaran sudah berganti dan sialnya…penjaga sekolah lupa lagi memukuli besi berkarat berbentuk velek mobil alias lonceng sekolah. Hairumannur jelas berhasil membuat seluruh penghuni kelas berlarian dengan cemas menuju kursi masing-masing, kemudian diam sambil menundukkan kepala, dalam hati mungkin sambil mendendangkan lagu mengheningkan cipta seperti yang mereka lakukan pada upacara bendera setiap Senin.

Wajah tak ramah Pak Amin pun muncul. Kumisnya terlihat ganjil, bagian kira lebih tebal dari bagian kanan. Sorot matanya tajam dan liar bagaikan tukang copet mencari mangsa. Raut wajahnya dingin menebarkan virus permusuhan. Suasana berubah mencekam. Karisma terlihat tegang, mulutnya komat-kamit mirip dukun merapal mantra mengusir setan. Mantranya semakin cepat dirapal saat Pak Amin dengan kasar menarik kursi guru dan duduk. Bunyi gesekan antara kursi besi dan lantai semen menandakan perang segera dimulai. Pertanda buruk bagi seluruh umat manusia penghuni kelas 3E! 
Tanpa basa-basi, Pak Amin mulai berkoar tentang materi pelajaran. Semua mata tertuju ke arahnya, tapi tak sepasang mata pun berani melihat langsung ke wajahnya, apalagi mata ketemu mata. Bagi mereka, Pak Amin bagaikan Medusa, perempuan berambut ular, yang bisa mengubah manusia jadi batu hanya dengan tatapan matanya. Semua berusaha berkonsentrasi dengan rumus yang diberikan, namun secepat rumus itu masuk ke otak, secepat itu pula rumus itu meninggalkan otak hanya karena rasa takut yang menyerang. 65 menit dihabiskannya untuk berkoar dan mencoreti papan tulis dengan contoh-contoh soal dan penyelesaiannya. Momen penderitaan segera dimulai seiring dimulainya sesi tanya jawab.

“Baiklah! Dari penjelasan rumus-rumus yang berhubungan dengan lingkaran, dan dari contoh-contoh soal yang saya berikan, ada pertanyaan?” suara Pak Amin menggelegar angker, seangker suara laki-laki yang baru dipersunting Kuntilanak. Semuanya kembali menunduk, tak ada yang berani bertanya atau mungkin tak tau harus bertanya apa.

“Hmm, sepertinya semua sudah mengerti. Jadi, saya yang akan bertanya.” lanjutnya sambil mendengus mirip banteng yang siap mencabik-cabik matador dihadapannya. Jantung Karisma berdegup semakin kencang. Dia menunduk dan kembali merapal mantra yang kedua: mantra tolak bala. Dia tidak sudi jadi korban Pak Amin hari ini. Hendra, teman semejanya, berniat menenangkan Karisma, tapi dia tidak berani membuat gerakan yang dapat memancing perhatian Pak Amin. Saat itu, mereka serasa tikus-tikus dalam liang yang berhadapan dengan ular kobra lapar. Dan, Pak Amin adalah ular kobra lapar itu. Setiap gerakan berarti bencana! Kasihan Karisma, mantra tolak balanya tidak cukup mempuni, karena tiba-tiba Pak Amin bergerak ke arahnya. Dia menutup mata sambil mengharapkan mujizat yang mengubah arah langkah Pak Amin. Namun, Karisma sedang sangat tidak beruntung. Saat membuka mata, tubuh Pak Amin yang tinggi dan melebar ke segala penjuru mata angin, sudah berdiri didepannya, menutupi pandangannya ke arah papan tulis.

“Karisma, rumus menghitung Percepatan?” Pak Amin menyerang dengan pertanyaan singkat. Aroma parfum murahannya bagaikan minyak nyong-nyong yang sekonyong-konyong membuat Karisma menahan nafas, otaknya bertambah beku karena kekurangan oksigen. Takut dikenakan MINUS SEJUTA.

“Uhhh….uhhh…phi….phi….phi….” Karisma terbata. Saat otaknya sudah mulai mengirimkan sinyal-sinyal jawaban, kini lidahnya yang masih terlalu kaku untuk menyemburkan rumus itu. Dan tiba-tiba….”YAK!!!” sebuah kalimat keluar dari mulut Pak Amin, “minus seribu” Diiringi dengan tamparan sadis. Seandainya saat itu dia diperbolehkan menumpahkan perasaannya lewat lagu, dia tentu akan menyanyikan “Hati Yang Luka” dari Betharia Sonata. Hendra panik karena musuh masih di dekatnya, yang berarti kesempatan besar bagi dia untuk menjadi korban berikutnya. Hatinya sedikit lega karena matanya sempat jelalatan ke papan tulis untuk mendapatkan rumus Luas Lingkaran. Dia tersenyum simpul merasa sudah punya jawaban sebagai perisai untuk menangkis serangan Pak Amin.

“Hendra! Rumus Keliling Lingkaran?” tanya Pak Amin dengan senyum culas nan menjijikkan. Dia cukup licik dengan serangan berikutnya demi mendapatkan korban lain. “I need more victims today!” begitulah kira-kira isi hatinya yang berduri. Hendra mendadak pucat, mencoba menggerak-gerakkan lehernya bagai penari India untuk mencari jawaban di papan tulis. Namun, tubuh bau nyong-nyong Pak Amin sudah terlanjur bergeser dan menghalangi pandangannya.

“Aaaa….eee…pak, saya taunya rumus Luas Lingka…” dia memberanikan diri memberi alasan untuk menyelamatkan diri, namun…“PLAK!!!” tamparan di pipi Hendra mengiringi jatuhnya korban yang kedua. Karisma tersenyum kecut merasa menemukan rekan duetnya untuk menyanyikan lagu “Hati Yang Luka”, yang akan menjadi lagu kebangsaan para korban tindakan kekerasan Pak Amin.

Pak Amin bergerak ke arah meja Hairumannur dan Fandy. Teteg, yang duduk di belakang Hendra, langsung bernafas lega, dan bernazar akan lebih taat beribadah. Hairumannur sedikit tegang walau fisika bukanlah pelajaran yang sulit buat dia, hanya gaya mengajar Pak Amin yang menyulitkannya. Tapi Fandy, dia langsung sakit perut. Bakpao-bakpao dalam perutnya tiba-tiba bereaksi hebat dengan asam lambungnya. Perutnya bergemuruh, mukanya pucat. Dan, TENG-TENG-TENG-TENG-TENG!!! Besi rombeng itu akhirnya dipukuli juga. Dalam hati dia berjanji akan mentraktir si pemukul besi rombeng.
“I have just been saved by that damned bell!” desahnya lega karena sakit perutnya tiba-tiba sembuh. Jam istirahat akhirnya tiba.

“Sialan!! Dari tadi kek..” umpat Karisma dan Hendra dalam hati. Pak Amin tidak lupa memberi PR sebelum meninggalkan kelas. Murid-murid lain segera mengerumuni meja Hendra dan Karisma, bukannya memberi semangat tapi ingin menyaksikan cetak merah tangan Pak Amin di pipi mereka, ada juga yang mengabadikannya dengan kamera handphone.

“Perhatian! Perhatian! Rapat pleno yang tertunda tadi harus diselesaikan saat ini, tidak ada yang boleh keluar kelas!” teriak Hairumannur dengan tegas, kemudian memelototi Fandy.
Pelototan matanya bisa diterjemahkan Fandy yang segera berjalan ke pintu, menutupnya, dan berdiri garang disana. Dan tak lupa beberapa bakpao selalu menyertai langkahnya. Beberapa anak yang bawa bekal makan siang mulai makan sambil mendengarkan, sedangkan yang lain pada nyomot bekal teman-temannya sambil mendengarkan juga.

“Kita harus melakukan aksi protes, teman-teman! Kita tidak boleh diam!” Hairumannur berapi-api.

“Betul itu! Kita ini sudah jadi korban, korban tindak kekerasan! Sebagai korban, kita berhak melapor ke Kontras, atau ke Komnas HAM kalo perlu!” teriak Teteg tak mau kalah. Beberapa pasang mata yang bingung segera memandang kearahnya, dalam pikiran mereka “Kontras?? Komnas HAM?? Apalagi nih omongan si Teteg?”

“Husss…ngga se-ekstrim itu kaleee,” si centil Agus Marni memprotes Teteg.

“Iya, ngga usah sampai ke Kontras segala, apalagi ke Komnas HAM. Kita cari bentuk protes yang lain.” Hairumannur menimpali. Wajah Agus Marni merona merah merasa dibela lelaki pujaannya. Walau sebenarnya dia hanya Ge-eR sendiri.

“Kalo gua sih setuju dengan idenya Teteg di awal tadi. Kita bolos aja setiap pelajaran fisika. Gua sih udah berencana bolos mulai minggu depan.” Hendra ikut nimbrung.

“Setujuuuuuu!! Gua pasti temenin lu man!” timpal Teteg.

“Huuuuhhh!!! Emang lu rajanya bolos!” Agus Marni mencibir yang diiringi tatapan benci dari sekelompok cewek ke arah Teteg. Tapi, Teteg membalas tatapan itu seolah-olah tatapan mereka adalah tatapan kagum penuh cinta, yang membuat beberapa murid cewek tiba-tiba kehilangan semangat hidup.

“Ada ide lain ngga?” tanya Hairumannur berusaha mendapatkan ide yang lebih bermartabat. Namun, tidak ada lagi ide yang lebih hebat dari ide konyol si Teteg.

“Jadi kalian setuju, kalau semua murid cowok kelas ini akan kabur setiap pelajaran fisika?” tanya Hairumannur memastikan.

“SETUJUUUUUUUU!!!” semua murid cowok berteriak. Kelompok gembel: Hendra, Karisma, dan Teteg berteriak lebih keras.

“PROKK…PROKK...PROKK…!!!” tepuk tangan bergemuruh dari murid-murid cewek yang memberi dukungan penuh.

“Kami para cewek, mendukung kalian. Memang, Pak Amin tidak pernah menjahili kaum kami, tapi gua mewakili murid-murid cewek, mendukung kalian, karena kami sayang kalian!” Agus Marni kembali membikin ulah. Semua orang terpaksa menahan mual mendengar kata “sayang” Agus Marni.

“Baiklah, keputusan sudah dibuat. Minggu depan kita mulai laksanakan aksi protes ini. Ini adalah keputusan bersama, jadi kita jalankan dan tanggung bersama. Dan untuk cewek-cewek, terima kasih dukungannya ya..” lanjut Hairumannur sambil tersenyum manis ke kaum cewek. Agus Marni hampir pingsan karenanya.

“Dan ingat, aksi protes ini dilaksanakan untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Dan kita harus professional.” si bengal Teteg mencoba untuk terlihat bijaksana dengan kata-katanya.

“Baiklah, rapatnya selesai, silahkan istirahat.” Hairumannur menutup rapat itu dengan damai. Tanpa diberi kode, Fandy segera membuka pintu dan menyingkir berlari ke arah kantin.

Setelah membolos dua kali dari pelajaran fisika, akhirnya tindakan protes bolos berjamaah harus dihentikan. Teteg terpukul karena akan kehilangan masa-masa bahagia dikejar-kejar penjaga sekolah dari kantin. Mereka pun disidang di ruangan kepala sekolah. Mereka diberi obat: pengarahan dan nasehat. Untungnya, mereka berkesempatan menyampaikan alasan aksi protes mereka. Pak Amin dipanggil sedangkan mereka disuruh keluar dan menunggu di kelas. Sesampainya di kelas, mereka disambut bak pahlawan oleh murid-murid cewek, dengan tepuk tangan dan suit-suit-an nakal. Agus Marni memandang Hairumannur bagaikan seorang putri menyambut pangerannya pulang dari medan perang, tapi Hairumannur memandang Agus Marni bagaikan cewek dengan masa kecil kurang bahagia, namun Agus Marni tidak peduli. Kemudian mereka duduk sambil ngobrol, sampai akhirnya terdiam ketika Pak Amin kembali ke kelas, didampingi kepala sekolah. Dia meminta maaf telah berlaku tidak pantas, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Kepala sekolah pun memastikan kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi di lingkungan sekolah yang dia pimpin. Wajah Pak Amin memang masih terlihat angker dan ganas, tapi murid-murid kelas 3E tidak merasa gentar lagi belajar fisika, terutama cowok-cowoknya.(note : Teteg tetep aja nongkrong di kantin)

Tidak ada komentar: